Tambang adalah Biang Masalah, Ormas Keagamaan Diminta Hati-hati dengan Intrik Penguasa

0

Beberapa bulan sebelum masa kepemimpinan berakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024. Aturan ini mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 96/2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba), yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mendapatkan prioritas izin tambang.

Aturan ini resmi berlaku sejak 30 Mei lalu. Di dalamnya, Pasal 83A menyebutkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan. Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penawaran prioritas ini berlaku selama lima tahun sejak peraturan diberlakukan.

Menurut peraturan tersebut, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan kepemilikan saham ormas keagamaan pada badan usaha tidak dapat dipindahtangankan tanpa persetujuan menteri.

Kritikan dari Berbagai Kalangan

Kritikan datang dari berbagai pihak yang mengingatkan akan potensi risiko dari aturan ini. Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University dan peneliti Sajogyo Institute, menduga bahwa peraturan ini mungkin bertujuan untuk memenuhi janji politik Jokowi, terutama dalam konteks dukungan politik pada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Raka Buming Raka pada pemilu lalu.

Eko berpendapat bahwa ormas keagamaan yang menjadi mitra strategis politik dapat dikontrol pemerintah, yang pada akhirnya bisa menaklukkan masyarakat sipil yang sering mengkritik kebijakan pemerintah. Menurutnya, kondisi ini dapat mengancam iklim demokrasi. Ia berharap ormas keagamaan tidak terjebak dalam iming-iming pemerintah dan menolak tawaran tersebut.

“Kalau ormas keagamaan bisa ditaklukkan, itu ancaman bagi demokrasi kita,” ujarnya kepada Mongabay.

Eko juga mengingatkan bahwa praktik tambang sering kali menyebabkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan, sehingga ia meragukan bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan akan lebih baik.

Potensi Dampak Negatif

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 konflik agraria yang melibatkan 127.525 hektar lahan dan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.

Eko menegaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan akan lebih baik. Bahkan, menurutnya, selama ini sektor pertambangan tidak pernah berpihak pada rakyat. Selain itu, ia menekankan bahwa korporasi dan negara harus memenuhi hak-hak masyarakat, seperti hak mendapatkan pekerjaan yang layak, hak terhadap lingkungan sehat, dan hak keadilan antar generasi.

Muhammad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menuturkan bahwa pemerintah telah bertindak otoriter dengan mengubah peraturan tanpa proses konsultasi yang memadai. Jamil berencana menggugat peraturan ini ke Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa aturan ini belum memberikan kepastian hukum dan sarat dengan potensi pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan.

Kejanggalan dan Kecurigaan

Ruth Indiah Rahayu dari Indoprogres Institute for Social Research and Education (IISRE) menilai bahwa peraturan ini tampak janggal karena dikeluarkan di akhir masa jabatan Jokowi dan menyasar ormas keagamaan secara spesifik. Ia mencurigai bahwa aturan ini mungkin bagian dari upaya bagi-bagi “kue” politik pasca pemilu.

Sementara itu, Media Wahyudi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyatakan bahwa kebijakan ini sulit diterima akal sehat dan mungkin merupakan bentuk balas budi politik. Ia khawatir kebijakan ini akan merusak struktur keuangan negara dan memukul kepercayaan investor.

Secara keseluruhan, berbagai kalangan mengingatkan bahwa kebijakan baru ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah, mulai dari konflik agraria, kerusakan lingkungan, hingga ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *