Selamatkan Nahdatul Ulama dari Pusaran Energi Kotor Batubara
VNEWS– Jauh sebelum Pemerintah Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), pada 2017, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam)-Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) telah menerbitkan buku berjudul, ”Energi Surya untuk Komunitas: Meningkatkan Produktivitas Masyarakat Pedesaan Melalui Energi Terbarukan.” Buku itu merupakan perwujudan komitmen organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia terhadap energi terbarukan.
Dukungan NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia terhadap pengembangan energi terbarukan adalah langkah berani. Bagaimana tidak, pengembangan energi terbarukan di Indonesia seringkali terganjal oleh kepentingan ekonomi-politik jangka pendek dari segelintir elite.
Elite ekonomi-politik yang berkepentingan agar Indonesia terus tergantung terhadap energi kotor berbasiskan fosil itu dengan jumlah sedikit, tetapi memiliki kekuasaan besar. Mereka ini sering disebut kelompok oligarki.
Menurut Profesor Northwestern University Jeffrey A Winters, oligarki dibagi menjadi dua dimensi. Pertama, oligarki memiliki kekuasaan besar secara sistematik walaupun memiliki status minoritas di dalam sebuah komunitas.
Kedua, oligarki punya dasar kekuasaan dan kekayaan material yang sangat sulit untuk diseimbangkan dan dipecah. Kedua dimensi oligarki menurut Jeffrey A Winters itu ada pada pendukung energi fosil, termasuk batubara, di Indonesia.
Dalam konteks politik energi seperti itulah dukungan NU terhadap pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas menjadi sangat penting. Celakanya, kelompok oligarki di negeri ini mengetahui bila dukungan NU terhadap energi terbarukan berbasis komunitas ini terus membesar akan mengancam kepentingannya untuk terus mengakumulasikan laba melalui energi kotor batubara.
Kekhawatiran kaum oligarki terhadap kebangkitan energi terbarukan di Indonesia jadi makin besar ketika negara-negara di dunia mulai meninggalkan energi fosil, termasuk batubara. Bahkan, bank-bank ternama di dunia mulai enggan mendanai proyek-proyek batubara.
Di tengah situasi politik energi yang menakutkan para oligarki itulah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2024 pada akhir Mei lalu. Regulasi ini merupakan revisi atas PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi terbaru itu, salah satunya, mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan.
Bak gayung bersambut, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, seperti diberitakan di berbagai media massa pun berjanji segera memberikan izin usaha pertambangan atau IUP kepada PBNU. Salah satu alasan rencana pemberian izin usaha tambang itu ke PBNU adalah untuk mensejahterakan rakyat melalui ormas Islam terbesar di Indonesia.
Kalau tujuan mensejahterakan rakyat, kenapa pemerintah tidak memfasilitasi PBNU mengelola energi terbarukan di seluruh mesjid dan pesantrennya?
Hasil penelitian Celios dan 350.org Indonesia, yang ”Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas,” menunjukkan, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
Penelitian itu juga menyebutkan, energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih 16 juta orang. Bukan hanya itu, dari sisi ketenagakerjaan, energi terbarukan berbasis komunitas juga membuka peluang kerja sebesar 96 juta orang.
Kalau ditelisik lebih mendalam, alih-alih mendapatkan untung tawaran pemerintah kepada PBNU mengelola tambang batubara justru akan menjerumuskan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu ke jaringan bisnis industri kotor yang akan membuat kerusakan di muka bumi.
Pembakaran batubara menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan konsentrasi emisi GRK inilah yang menyebabkan krisis iklim. Bencana-bencana akibat krisis iklim kini bukan lagi wacana namun sudah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Asia menjadi kawasan yang sangat terdampak dari krisis iklim ini.
Menurut laporan World Meteorological Organization (WMO) berjudul, State of the Climate in Asia 2023, bahwa, kecenderungan kenaikan pemanasan di Asia meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.
Menurut data dari Emergency Events Database, pada 2023, di Asia terjadi 79 bencana iklim. Bencana iklim itu, mayoritas (80%) berupa banjir dan badai. Bencana iklim di Asia itu telah menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa.
Berbagai bencana iklim di Asia itu juga dirasakan Indonesia. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berjudul Data Bencana Indonesia 2023, mengungkapkan, bencana pada 2023 didominasi kejadian hidrometeorologi akibat krisis iklim dengan 5.365 kejadian. Berarti, bencana di Indonesia selama 2023 didominasi yang diakibatkan dari krisis iklim.
Daya rusak batubara bukan hanya terjadi saat pembakaran. Sejak proses penambangan, batubara telah memilki daya rusak yang mematikan. Kondisi ini menyebabkan tambang batubara memiliki karakteristik mengubah bentang alam. Dampaknya, tambang batubara akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan lain di sekitar tambang.
Daya rusak tambang batubara tidak hanya berhenti sampai di situ, pasca operasi, tambang ini menyisakan lubang. Di Kalimantan Timur, menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, pada 2021 ada 1.735 lubang bekas tambang batubara. Lubang tambang itu telah menelan puluhan korban jiwa didominasi anak-anak.
Sulit untuk tidak menduga bahwa tawaran kepada PBNU untuk terlibat dalam mengelola tambang batubara itu merupakan agenda ekonomi-politik dari oligarki yang ingin jadikan PBNU sebagai alat pelindung diri dari desakan masyarakat internasional agar negara-negara di dunia mulai meninggalkan batubara.
Pemerintah nampaknya ingin memainkan narasi keagamaan untuk melindungi keberadaan industri kotor batubara.
Pemerintah, yang sudah berada dalam pelukan oligarki, nampaknya ingin membenturkan gerakan lingkungan hidup dan ormas keagamaan. Pemerintah ingin PBNU menjadi aktor terdepan dalam perang narasi melawan gerakan lingkungan hidup. Kalau ini benar-benar terjadi, pemerintah bukan hanya terlibat aktif dalam perusakan alam juga tengah memfasilitasi konflik di masyarakat.
Berharap para petinggi PBNU segera menyadari bahwa ormas Islam terbesar di Indonesia itu sedang dalam incaran kaum oligarki untuk menyelamatkan bisnis energi kotornya. PBNU harus mulai kembali kepada komitmen awalnya mendukung energi terbarukan berbasis komunitas bukan energi kotor yang merusak alam. Kesadaran terhadap kelestarian lingkungan hidup dari petinggi PBNU itu diharapkan mampu memunculkan keberanian menolak tawaran pemerintah terlibat dalam pusaran industri kotor batubara.
Penulis adalah Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim, 350.org. Tulisan ini adalah opini penulis.