Eksploitasi yang Menyayat Bumi dan Hati: Kisah Sedih Tanah yang Terenggut

0

VNEWS– Di bawah langit kelabu yang menyimpan luka, hutan Indonesia menangis. Deru mesin dan gelegar kapak telah mengubur nyanyian burung dan gemerisik dedaunan. Pohon-pohon yang pernah menjadi saksi bisu dari kehidupan masyarakat adat kini terbaring hancur, menyisakan tanah yang gersang dan kosong, tempat dimana dulu kehidupan mekar dengan segala keindahannya.

Korporasi besar datang dengan janji kemajuan dan kesejahteraan, tetapi yang mereka tinggalkan adalah kesedihan dan putus asa. Eksploitasi alam secara besar-besaran demi keuntungan tanpa batas menciptakan malapetaka yang tak terhingga bagi bumi dan penghuninya. Krisis iklim, bencana ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem adalah bukti tak terbantahkan dari kerusakan yang telah melanggar enam dari sembilan batasan bumi.

Masyarakat adat dan lokal, yang telah hidup selaras dengan alam selama berabad-abad, kini kehilangan tanah dan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Hak mereka untuk mendapatkan lingkungan yang aman dan sehat terenggut, terhempas oleh dominasi korporasi yang merampas tanah mereka. Mereka adalah korban dari kolonialisasi modern yang dilakukan oleh negara-negara Utara, yang atas nama pemenuhan pangan global, terus memeras sumber daya negara-negara Selatan.

Di tengah upaya penyelamatan bumi yang bisa dibangun di atas solidaritas global, kesenjangan kapasitas dan tanggung jawab tetap membentang lebar. Negara-negara Utara, dengan pola konsumsi yang rakus, harus mengubah kebijakan untuk melindungi hutan-hutan dan biodiversitas yang tersisa. Mereka harus menghormati hak asasi manusia masyarakat adat dan lokal, yang setiap harinya berjuang mempertahankan tanah mereka.

Beberapa negara maju telah mulai menyusun undang-undang yang memperketat uji tuntas komoditas yang masuk ke negara mereka. Di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan United Kingdom, undang-undang ini bertujuan untuk memproteksi hutan dari praktik deforestasi dan menghormati hak asasi manusia. Namun, di Indonesia, eksploitasi terus berlanjut tanpa henti.

Indonesia adalah salah satu negara Selatan yang selalu menjadi objek eksploitasi untuk memenuhi hasrat kemajuan dan konsumsi negara-negara Utara. Menurut data Mapbiomas, dalam dua dekade terakhir, Indonesia kehilangan 9 juta hektar hutan alam. Kini, hanya tersisa 105 juta hektar dari yang sebelumnya 112 juta hektar. Ekspansi sawit, tambang, dan hutan tanaman industri menjadi penyebab utama dari deforestasi ini. Periode 2000-2020, ekspansi sawit melonjak 145%, ekspansi tambang 334%, dan ekspansi hutan tanaman industri 161%. Luasan sawit kini mencapai 16,5 juta hektar, meningkat tajam dari 7,8 juta hektar pada tahun 2000.

Korporasi-korporasi besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, dan lainnya, memiliki 3,3 juta hektar kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Mereka menjual minyak sawit kepada perusahaan-perusahaan merek konsumen internasional, yang kemudian menjadi produk-produk yang kita gunakan sehari-hari. Namun, di balik produk-produk tersebut, terdapat penderitaan 320.000 jiwa keluarga petani yang hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian. Walhi mencatat setidaknya 72 konflik tersebar di 20 provinsi di Indonesia, sebagian besar adalah konflik dengan korporasi sawit.

Konflik ini menciptakan lingkaran kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Selama sepuluh tahun terakhir, 1.054 orang menjadi korban kriminalisasi terkait isu lingkungan, dengan sektor perkebunan sawit menjadi yang paling tinggi. Di tengah perjuangan mereka, korporasi besar meraup untung besar dan menumpuk kekayaan. Kasus operasi anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL) di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat menjadi contoh nyata dari penderitaan ini. Operasi AAL menyebabkan deforestasi, pencemaran lingkungan, perampasan tanah, intimidasi, dan kriminalisasi masyarakat.

Dari 14.742 hektar konsesi HGU PT Lestari Tani Teladan dan PT Mamuang, 3.966 hektar berkonflik dengan masyarakat. Sedangkan PT Agro Nusa Abadi beroperasi ilegal di tanah milik masyarakat tujuh desa di Kabupaten Morowali Utara seluas 19.675 hektar. Hanya 5,7% dari wilayah yang dikuasai ilegal PT Agro Nusa Abadi yang dituntut masyarakat untuk dikembalikan.

Ketika masyarakat adat dan komunitas lokal berjuang untuk hak-hak mereka, pemilik saham terbesar, lembaga keuangan pemberi kredit, investor, dan pembeli minyak sawit AAL, menikmati keuntungan besar. Mereka meraup keuntungan dari penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat.

Kesedihan mendalam dan rasa putus asa merasuki setiap sudut hutan yang hilang. Elegi bagi pohon-pohon yang tumbang dan nyawa-nyawa yang terenggut mencerminkan ketidakadilan yang merajalela. Perlu segera ada koreksi kebijakan yang kuat untuk menagih pertanggungjawaban korporasi. UU yang mampu memastikan setiap perusahaan menghindari deforestasi dan menangani kerusakan lingkungan serta memenuhi, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia adalah harapan terakhir bagi masyarakat adat dan lokal yang terus berjuang di tengah bayang-bayang kesedihan dan putus asa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *