Yang Tak Pernah Hilang: Kisah Kesedihan, Keteguhan, dan Perlawanan
VNEWS– Sabtu, 22 Juni 2024, menjadi hari yang penuh emosi dan harapan di bioskop Epicentrum 2, Jakarta. IKOHI dan #KawanHermanBimo menggelar pemutaran film dokumenter “Yang Tak Pernah Hilang”. Film ini lahir dari upaya melawan lupa, menentang abai dan diamnya negara terhadap kejahatan masa lalu.
Sebuah jumpa pers diadakan sehari sebelumnya di sekretariat KontraS, Jakarta. Dalam suasana yang penuh dengan semangat dan keharuan, hadir Dandik Katjasungkana, produser film dan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Lilik HS dari Persaudaraan IKOHI, Utomo Rahardjo, ayahanda Bimo Petrus, dan Jane Rosalina dari KontraS.
“Yang Tak Pernah Hilang” adalah bentuk memorialisasi, sebuah upaya merawat ingatan publik terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Memorialisasi bisa berbentuk pendirian monumen, museum, penetapan hari peringatan, buku, dan film. Ini merupakan penghormatan atas martabat korban dan bagian dari pemenuhan hak mereka atas pemulihan. Melalui memorialisasi, kita membangun ruang ingatan kolektif agar peristiwa kelam tersebut menjadi pembelajaran penting untuk mencegah keberulangan di masa depan.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menegaskan pentingnya memorialisasi sebagai bentuk pemulihan kolektif dan simbolik. “Ini bertujuan memberikan ruang bagi korban untuk menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat mengenang pengalaman masa lalu sebagai upaya mencegah keberulangan,” ujarnya.
Film dokumenter ini lahir di tengah situasi politik dan HAM di Indonesia yang mengalami degradasi. Ia mengingatkan publik, terutama generasi muda, bahwa korban-korban penculikan aktivis 1998 belum ditemukan dan belum mendapatkan keadilan. “Yang Tak Pernah Hilang” bukan sekadar film, tapi juga suara perlawanan yang tak pernah padam, sebuah perjuangan #MelawanLupa.
Dandik Katjasungkana, yang menggagas ide film sejak 2019 dan menyelesaikannya pada Februari 2024, menjelaskan bahwa film ini merupakan bagian dari desakan kepada pemerintah dan elit politik untuk menyelesaikan kasus ini. “Film ini menghidupkan kembali ingatan tentang kawan yang hilang dan ketidakadilan yang hingga kini belum terungkap,” tegasnya.
Utomo Rahardjo, ayah Bimo Petrus, menyambut penuh haru kehadiran film ini. “Seperti energi baru untuk berjuang bagi anak saya yang masih hilang. Upaya mengingat Bimo dan Herman melalui film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,” ujarnya dengan suara bergetar. Di Pangkal Pinang, keluarga Herman Hendrawan merasakan hal yang sama. “Film ini menegaskan bahwa Herman tidak pernah hilang dari ingatan dan hati semua orang terdekatnya,” ungkap Hera Haslinda, kakak Herman.
Muhammad Iqbal, dosen FISIP Universitas Jember, menggambarkan hilangnya Herman dan Bimo sebagai tragedi kemanusiaan. “Film ini harus dilihat dalam konteks sejarah masa depan, bagaimana peradaban dibangun dengan tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan yang hingga kini absen. Problem besarnya adalah bagaimana mengungkap peristiwa kemanusiaan ini,” katanya. Airlangga Pribadi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, menambahkan bahwa mereka yang berjuang adalah orang-orang yang mencintai negaranya. “Mereka mengorbankan semuanya untuk perubahan keadilan di Republik ini.”
Zaenal Mutaqien, Sekjen IKOHI, berharap film ini membantu generasi muda memahami luka-luka sejarah di balik kisah heroisme gerakan reformasi 1998. “Kisah kelam kekuasaan yang menggunakan militer untuk menculik aktivis reformasi penting agar tidak terulang di masa depan. Film ini adalah alat perjuangan melawan lupa,” tegasnya.
Sebelum film dokumenter ini, upaya memorialisasi dimulai dengan rencana pembangunan Monumen Perjuangan Reformasi yang telah diupayakan sejak 2007 namun belum menemukan titik temu. Harapan membangun monumen kembali muncul saat audiensi dengan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada November 2023. Dandik menjelaskan bahwa monumen ini akan menjadi penanda untuk merawat memori kolektif dan sebagai simbol penghormatan terhadap dua mahasiswa Universitas Airlangga yang menjadi martir demokrasi: Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
Monumen ini didesain oleh pematung Dolorosa Sinaga, seorang dosen Senirupa di Institut Kesenian Jakarta yang karya-karyanya sering menyoroti isu sosial dan budaya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Monumen Semangat 66 di Jakarta Selatan.
Pada akhirnya, film “Yang Tak Pernah Hilang” menjadi juru bicara harapan keluarga korban penculikan aktivis 1997 dan 1998. Hera, kakak Herman, meminta pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa 13 mahasiswa era tersebut. “Untuk pemerintah, minta tolong diselesaikan, dituntaskan masalah ini supaya terungkap. Kalau memang tahu makam, kuburannya, ya diberi tahu agar kami bisa ke sana, ziarah. Kalau memang tidak ketemu, pemerintah memberikan statemen,” pintanya dengan penuh harap.
Utomo Rahardjo, yang telah lebih dari 26 tahun berjuang untuk mendapatkan kepastian mengenai anaknya, berharap pemerintah mencari keberadaan para aktivis tersebut. “Yang menjadi kegelisahan keluarga korban sekarang ini adalah ketidaktahuan tentang keberadaan anak-anak kami. Jadi, yang pertama kami ingin agar pemerintah mencari keberadaan para aktivis tersebut,” ujarnya dengan suara yang dipenuhi keteguhan dan kesedihan.
Semoga film ini menjadi pemicu agar pemerintah segera menuntaskan kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 serta mendorong masyarakat untuk terus berjuang #MelawanLupa atas semua kasus pelanggaran HAM di masa lalu.