Ketika Dunia Diam: Derita Palestina di Tengah Kejahatan Kemanusiaan

0

Di tengah gemuruh konflik dan derita yang tak berkesudahan, Palestina kembali menangis dalam kesunyian. Dunia menyaksikan, namun banyak yang memilih diam. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina kian meresahkan hati nurani, terutama saat kita dihadapkan pada kenyataan yang begitu brutal: penggunaan warga sipil sebagai perisai manusia.

Pemandangan yang Memilukan di Jenin

Bulan Mei, Jenin menjadi saksi bisu atas kejahatan yang tak termaafkan. Sebuah video yang beredar luas di media sosial, diverifikasi oleh Reuters, menunjukkan tentara Israel mengikat seorang warga Palestina, Mujahed Azmi, di bagian depan jip militer. Video tersebut menunjukkan Azmi, terluka dan tak berdaya, ditempatkan di atas kap mobil yang melewati dua ambulans.

Keluarga Azmi menceritakan bahwa penggerebekan terjadi secara tiba-tiba, meninggalkan Azmi terluka parah. Ketika mereka meminta ambulans untuk membawa Azmi ke rumah sakit, tentara malah membawanya dan mengikatnya di atas kendaraan militer. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, mengecam keras tindakan ini. Dalam tulisannya di X, ia menyatakan, “Sungguh mengherankan bagaimana sebuah negara yang lahir 76 tahun yang lalu telah berhasil membalikkan hukum internasional secara harfiah.”

Anak-Anak Palestina sebagai Perisai Manusia

Namun, tragedi Azmi bukanlah satu-satunya kisah pilu dari tanah Palestina. Laporan dari Defense for Children International (DCI) pada Mei juga mengungkapkan kengerian lain: penggunaan anak-anak Palestina sebagai perisai manusia. Tiga insiden berbeda membuktikan bahwa pasukan Israel menggunakan anak-anak sebagai tameng hidup saat menyerbu kamp pengungsi Nur Syam dan rumah-rumah warga Palestina di sekitarnya.

Dalam salah satu insiden yang memilukan, dua anak dipaksa berjalan di depan tentara Israel, dengan senapan disandarkan di pundak mereka. Mereka dijadikan alat untuk menaklukkan ketakutan, dipaksa untuk mengetuk pintu rumah tetangga mereka, mendesak penghuni untuk keluar. Anak-anak ini, yang seharusnya bermain dan belajar, malah dipaksa menjadi saksi dan korban kekerasan yang luar biasa.

Diamnya Dunia: Sebuah Pengkhianatan

Kejahatan ini tidak hanya merupakan pelanggaran hukum internasional, tetapi juga sebuah tamparan keras bagi kemanusiaan. Francesca Albanese menyoroti betapa “kekebalan hukum yang digunakan oleh Israel untuk melanggar piagam-piagam hukum internasional” telah menjadi norma yang memprihatinkan. Ia menegaskan bahwa tindakan Israel dapat mengancam akhir dari multilateralisme, yang bagi beberapa negara anggota yang berpengaruh, kini dianggap tidak lagi relevan.

Namun, apa yang lebih menyedihkan adalah sikap dunia yang seolah menutup mata. Negara-negara yang memiliki kekuatan dan suara untuk menghentikan kekejaman ini malah memilih untuk tetap diam. Dalam diamnya, mereka seakan merestui penderitaan yang dialami oleh warga Palestina. Mereka seolah lupa bahwa di balik setiap angka statistik, ada manusia yang menderita, ada anak-anak yang kehilangan masa depan, dan ada keluarga yang hancur.

Kemarahan yang Tertahan

Kemarahanku, kemarahan kita semua, terhadap ketidakadilan ini seharusnya menjadi api yang membakar semangat perubahan. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat dunia yang diam di hadapan kejahatan. Ketika anak-anak digunakan sebagai perisai manusia, ketika warga sipil yang terluka dijadikan tameng hidup, kita seharusnya tidak lagi bisa tidur nyenyak.

Kita harus bersuara, kita harus bertindak. Dunia tidak bisa terus diam. Kejahatan kemanusiaan ini harus dihentikan, dan para pelakunya harus diadili. Tidak ada alasan, tidak ada pengecualian. Di bawah langit yang sama, kita adalah saudara. Dan ketika satu dari kita terluka, seharusnya kita semua merasakan sakitnya.

Di tengah kesunyian yang menyelimuti derita Palestina, mari kita jadikan kemarahan kita sebagai panggilan untuk keadilan. Karena hanya dengan bersuara dan bertindak, kita bisa mengakhiri penderitaan yang tak seharusnya ada. Palestina butuh kita, dan kita tidak boleh mengecewakannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *