Menangis di Bawah Bayang Akademis: Kisah Tragis Pelanggaran yang Menghantui
VNews– Di sudut-sudut kampus yang sepi, di balik hiruk-pikuk mahasiswa yang sibuk mengejar mimpi, tersembunyi cerita-cerita yang menggetarkan hati. Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi kini mengguncang perhatian khalayak Indonesia. Laporan dari The Conversation Indonesia, Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024, serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta, Kumba Digdowiseiso, membuka luka lama yang tak kunjung sembuh.
Banyak yang beranggapan bahwa beban kerja dosen, ambisi naik pangkat, dan insentif publikasi adalah akar masalah ini. Diskusi-diskusi berakhir dengan harapan yang sunyi, menggantungkan perubahan pada kejujuran individual dosen. Namun, seperti hutan yang menyimpan ribuan rahasia di balik rimbunnya pepohonan, masalah ini jauh lebih dalam dan kompleks.
Kultur Meniru dalam Bayang-Bayang Budaya
Di Indonesia, budaya tutur yang diwariskan nenek moyang kita masih kuat mencengkeram. Walter J. Ong, dalam bukunya “Orality & Literacy”, mengungkapkan bahwa masyarakat yang terbiasa dengan budaya tutur cenderung mengulang dan menyalin pengetahuan. Kampus-kampus kita lebih sering dianggap sebagai tempat “transmisi pengetahuan”, di mana keberhasilan diukur dari kemampuan mahasiswa menghafal materi.
Bayangkan betapa mudahnya menemukan tips menghafal teori di internet yang sama persis dengan yang diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diperlakukan seperti dogma yang tidak boleh dipertanyakan, menciptakan kebiasaan meniru alih-alih menciptakan sesuatu yang baru.
Seperti yang dialami Hamzah Ya’qub, dosen dan pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang. Pada 1973, ia menulis buku “Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah”, mencoba menjembatani studi dakwah dengan publisistik. Namun, pada 1986, bukunya disalin oleh orang lain tanpa atribusi yang layak, dan hingga hari ini, tidak ada yang mempermasalahkan plagiasi tersebut. Masyarakat kita, dalam diamnya, seolah membenarkan praktik peniruan ini.
Risiko yang Menghantui
Di masa Orde Baru, pendidikan diarahkan untuk mencetak tenaga kerja demi pembangunan, bukan untuk mengembangkan ilmu. Ini melanggengkan budaya meniru sebagai satu-satunya cara memperoleh pengetahuan. Mahasiswa dibentuk untuk meniru, bukan untuk berkreasi. Diskusi tentang teori baru nyaris tidak ada, dan studi komunikasi di Indonesia stagnan.
Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, disiplin terhadap plagiasi di kampus menjadi tumpul. Riset terjebak dalam pengulangan, seperti mesin yang terus berputar di tempat yang sama. Pada 1980-an, jual beli karya ilmiah menjadi praktik yang lumrah, dengan alasan bahwa karya ilmiah itu dapat ditiru pola kerjanya, bukan dijiplak.
Kampus, dalam kelamnya, membenarkan kultur peniruan ini. Tidak ada penghormatan terhadap pemikiran orang lain, hanya ada keinginan untuk cepat lulus, cepat terbit, dan cepat naik pangkat. Bisnis karya ilmiah seperti joki dan paper mills tumbuh subur, merusak integritas akademik yang seharusnya dijunjung tinggi.
Mengubah Cara Pandang
Namun, harapan masih ada. Saat ini, banyak akademisi mulai melihat kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Pemerintah telah menyusun aturan publikasi yang lebih ketat dan memperbarui aturan plagiasi pada 2021. Namun, studi tahun 2022 menunjukkan bahwa metode deskriptif kualitatif sederhana masih mendominasi. Ini menunjukkan bahwa perubahan kultur belum sepenuhnya terjadi.
Pelatihan yang ada lebih fokus pada strategi publikasi, bukan pada pendalaman substansi riset. Konferensi akademik yang seharusnya menjadi ajang diskusi ilmiah seringkali diwarnai kepentingan politik dan kualitas rendah. Insentif publikasi hanya berdasarkan jenis kanal publikasi seperti SCOPUS dan SINTA, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.
Ketika tulisan ini terbit, bukan pertanyaan tentang substansi yang kami terima, melainkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”. Banyak dosen menjadi pemburu publikasi, memanfaatkan riset mahasiswa demi mengejar target.
Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang yang lebih mendasar. Penegakan etika, perumusan kode etik, dan pengurangan beban kerja dosen adalah langkah penting. Namun, yang lebih sistemik dan mendalam adalah memosisikan kampus sebagai produsen pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.
Harapan yang Mengalir
Di tengah kesunyian malam, ketika bintang-bintang menghiasi langit, ada harapan yang mengalir. Kita harus percaya bahwa perubahan bisa terjadi. Kampus bukan hanya tempat untuk belajar, tapi juga tempat untuk menciptakan, berinovasi, dan menghormati pemikiran orang lain. Mari kita bangkit, meninggalkan budaya meniru, dan membangun masa depan akademis yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih berintegritas.
Dalam langkah-langkah kecil, dengan hati yang tulus, mari kita ubah cara pandang, dan bersama-sama kita wujudkan kampus sebagai produsen pengetahuan. Karena masa depan akademis yang cerah adalah milik kita semua.