Mitos Sisifus: Sebuah Elegi untuk Manchester United
VNEWS– Di lereng-lereng curam mitologi Yunani kuno, terdapat seorang tokoh bernama Sisifus, yang kisahnya terukir abadi dalam sejarah. Sisifus adalah raja agung Corinth, atau yang dahulu dikenal sebagai Ephyra. Dia adalah penerus Medea, wanita yang kisah tragisnya bersama Jason dari Argonauts masih bergema di relung-relung mitos, dan dia juga dikenal sebagai penyelenggara pesta olahraga Isthmian yang terkenal. Namun, segala prestasinya hanya tinggal kenangan yang pudar seiring berjalannya waktu.
Mitos mengatakan bahwa Sisifus dihukum dengan berbagai alasan tergantung versi yang diceritakan. Ada yang berkata bahwa dia dihukum karena mengkhianati Zeus, membocorkan rahasia sang dewa kepada Asopus, yang membuat Zeus murka dan menjatuhkan hukuman yang kejam: mendorong batu besar di neraka tanpa henti. Versi lain menyebutkan bahwa Sisifus dihukum karena menolak kematian yang ditakdirkan oleh para dewa. Terlepas dari versinya, Sisifus dikutuk untuk selamanya mengulangi tugas yang sia-sia: mendorong batu karang ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya bergulir kembali ke lembah.
Kisah Sisifus ini menggemakan kondisi naik turunnya prestasi beberapa klub sepak bola dunia, terutama tim-tim sepak bola Liga Inggris yang berjaya di masa lalu dan kini merindukan kejayaan yang hilang. Arsenal, yang terakhir kali menjuarai Liga Inggris pada musim 2003/2004, dan Everton, yang pernah meraih sembilan trofi liga, adalah contoh nyata dari Sisifus modern dalam dunia sepak bola.
Namun, drama paling mencolok terletak pada Manchester United (MU). Klub ini adalah salah satu yang paling gemilang dalam sejarah Liga Inggris, dengan 20 trofi yang terakhir kali diraih pada musim 2012/2013. Mereka juga telah tiga kali menjuarai Liga Champions Eropa, terakhir pada 2007/2008, serta meraih 12 gelar Piala FA, dengan kemenangan terakhir pada musim 2015/2016 di bawah asuhan Louis Van Gaal. Namun seperti Sisifus, mereka kemudian “dihukum” mengalami penurunan prestasi yang menyakitkan hingga kini.
Menurut laporan Deloitte, MU saat ini adalah klub dengan pemasukan terbesar kelima di dunia setelah Real Madrid, Manchester City, Paris Saint-Germain, dan Barcelona. Sekitar 47% dari pemasukan MU yang sebesar 746 juta euro pada 2023 berasal dari aktivitas komersial, 32% dari penyiaran, dan sisanya dari penjualan tiket. Basis penggemar yang besar dan kekuatan finansial yang luar biasa seharusnya menjadi modal untuk bersaing di puncak. Namun, realitas berbicara sebaliknya.
Sejak pensiunnya Alex Ferguson pada 2013, MU telah berganti pelatih sebanyak tujuh kali, termasuk Jose Mourinho dan Louis Van Gaal, yang pernah membawa timnya memenangkan Liga Champions. Namun, tak satu pun yang mampu mengembalikan kejayaan seperti era Ferguson. David Moyes dengan taktik bola panjang yang membosankan, Louis Van Gaal dengan strategi kaku, dan Jose Mourinho dengan sepak bola pragmatis, semuanya gagal memenuhi ekspektasi.
Masuknya Ole Gunnar Solskjaer, legenda hidup MU, juga tidak membawa banyak perubahan. Di bawah Erik Ten Hag saat ini, MU belum menunjukkan kemajuan signifikan. Ditambah lagi, pemain-pemain mahal seperti Anthony Martial, Jadon Sancho, dan Anthony, yang performanya jauh dari harapan, semakin memperburuk keadaan.
Seperti Sisifus yang terus mendorong batu karang tanpa henti, MU juga mengalami rentetan kekalahan yang menyakitkan. Pada musim 2023/2024 Manchester United mengalami kekalahan 14 kali dalam perjalanannya mengarungi satu musim Premier League. Itu merupakan jumlah kekalahan terbanyak dalam sejarahnya di ajang tersebut. Kekalahan demi kekalahan, blunder pemain, dan taktik pelatih yang salah membuat MU terperosok, mirip dengan batu yang selalu bergulir kembali ke lembah.
Namun, ada pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Sisifus. Albert Camus, dalam esainya tentang mitos Sisifus, mengajarkan kita untuk menerima kenyataan dan absurditas kehidupan. Seperti Sisifus yang menemukan kebahagiaan dalam usahanya yang tampak sia-sia, MU dan para penggemarnya pun harus menerima kenyataan pahit ini dengan kepala tegak. Tidak mencari pembenaran atas kegagalan, tetapi menerima bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju sukses.
Dalam sepak bola modern, performa klub yang naik turun adalah hal yang lumrah. Taktik yang berubah, pemain yang datang dan pergi, serta dinamika internal dan eksternal, semuanya mempengaruhi hasil akhir. Pada masa kejayaannya, MU di bawah asuhan Ferguson juga mengalami perubahan taktik, dari formasi 4-4-2/4-4-1-1 menjadi 4-3-3, yang awalnya tidak berjalan mulus namun akhirnya berhasil setelah beberapa tahun.
MU juga harus bisa memaknai periode sulit ini sebagai bagian dari proses panjang yang penuh perjuangan. Bukan sebagai suatu kesia-siaan, tetapi sebagai bagian dari usaha untuk meraih kembali kejayaan. Menerima kenyataan tanpa mencari pembenaran, berjuang tanpa henti, dan menemukan makna dalam setiap langkah yang diambil, itulah pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Sisifus.
Sisifus, dengan batu takdirnya yang terus bergulir kembali, mengajarkan kita untuk terus berjuang meski hasilnya tampak sia-sia. MU, dengan segala drama dan kekalahannya, harus menerima kenyataan ini sebagai bagian dari perjalanan panjang menuju puncak kejayaan. Hanya dengan menerima kenyataan dan terus berjuang, kita bisa menemukan makna sejati dari setiap langkah yang kita ambil.