Dalam Gelapnya Intrik: Ketika Mulyono Menggenggam Takdir Anies Baswedan
VNEWS.ID– Di tengah keremangan dini hari, di sebuah kantor yang bergetar oleh ketegangan politik, Ono Surono, Ketua DPD PDI-P Jawa Barat, berdiri di hadapan awak media dengan wajah yang menunjukkan kemarahan tak tertahan. Suasana di Kantor KPU Jabar, Jalan Garut, Kota Bandung, saat itu terasa seperti sebuah babak akhir dari sebuah drama politik yang penuh dengan skandal dan pengkhianatan.
“Dalam pengunduran ini, tidak ada nama yang lebih dominan daripada Mulyono,” tegas Ono dengan nada suara yang bagaikan ledakan dalam malam yang hening. “Mulyono dan gengnya,” lanjutnya, menambah intensitas dari konfrontasi yang memuncak. Nama itu bergema di ruang konferensi pers, menciptakan aura misteri yang menambah bumbu pada kisah penjegalan yang penuh emosi ini.
Namun, di balik pernyataan tersebut, Mulyono tetap tersembunyi dalam bayang-bayang. Siapa dia? Apa yang membuatnya begitu kuat sehingga bisa menggagalkan rencana besar yang telah disusun dengan penuh harapan? Ono Surono tidak menjelaskan detail lebih lanjut mengenai Mulyono, seakan-akan namanya sendiri sudah cukup untuk menggambarkan kekuatan yang ada di balik layar.
Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta, adalah sosok yang dipilih dengan penuh keyakinan. Ia adalah putra asli Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Program-program unggulannya selama menjabat di Jakarta seharusnya menjadi bukti bahwa ia adalah pemimpin yang mampu membawa perubahan signifikan bagi Provinsi Jabar. Namun, dalam hitungan jam menjelang penutupan pendaftaran, harapan itu lenyap.
Di saat-saat terakhir, PDI-P harus mengalihkan pilihannya ke Jeje Wiradinata, mantan Bupati Pangandaran, dan artis Ronal Surapradja. Pilihan yang mendadak ini menggambarkan betapa rapuhnya keputusan politik ketika berada di bawah tekanan. Keputusan tersebut seolah-olah merupakan hasil dari sebuah permainan kekuasaan yang penuh intrik.
Di belakang segala keputusan itu, ada Mulyono, seorang figur yang mengaburkan batas antara kekuasaan dan kepentingan pribadi. Dia adalah simbol dari sebuah sistem yang tidak lagi berfungsi untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk ambisi-ambisi tersembunyi yang bersembunyi di balik layar. Kegagalan PDI-P untuk mengusung Anies Baswedan bukan hanya sebuah kekalahan politik, tetapi juga sebuah tragedi yang menunjukkan betapa mudahnya cita-cita rakyat dapat dipermainkan oleh tangan-tangan yang tidak terlihat.
Momen ini meninggalkan jejak kepahitan, seperti reruntuhan yang dibiarkan menghitam oleh api yang tak kunjung padam. Dalam gelapnya intrik dan permainan kekuasaan, suara rakyat seolah tertutup oleh kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Ketika Mulyono menggenggam takdir Anies, ada rasa kesal yang mendalam dan ketidakberdayaan yang menyelimuti, seakan mengingatkan kita pada batas-batas yang harus dihadapi dalam arena politik yang penuh tipu daya