24 Jam tak cukup untuk nikmati Solo

 Kota Solo, kota tempat kesenian asli
Tarian indah murni irama yang mengiringi
Banyak pesiaran sejak purba hingga kini
Para agung serta pendeta sungguh maha sakti

VNEWS.ID| “Kota Solo”, begitu judul lagu dari potongan lirik di atas. Dinyanyikan oleh Mus Mulyadi pada dekade 1980-an, “Kota Solo” menjadi gambaran bagaimana denyut kota tersebut berdetak setiap harinya–dan seperti tak pernah berhenti.

Irama itu terus mengalir ke setiap sudut kota, ke setiap seluk kehidupan, yang menggerakkan ekonomi hingga 24 jam. Bahkan, mungkin, hitungan bilangan itu terasa kurang untuk kita jelajahi semua tempat wisata di sana satu per satu.

Solo memang menjadi tempat persinggahan dan juga berpulang bagi banyak orang. Untuk urusan duniawi, kota dengan julukan Kota Bengawan itu memiliki segalanya. Mulai dari tempat rekreasi hingga kuliner.

Dan, untuk urusan perut, sepertinya Solo tak kehabisan “pesiarannya” itu. Srabi Notosuman, Soto Gading, Tengkleng Bu Edi Pasar Klewer atau Selat Mbak Lies, semuanya sudah terkenal sejak lama.

Selain nama-nama besar dunia kuliner Solo itu, banyak tempat lain yang tak kalah populernya, pun menyediakan jajanan, makanan, dan minuman yang lezat.

Tempat-tempat itu bisa Anda singgahi sejak pagi hingga sore hari–sebagian sampai jelang Isya. Namun, wisata kuliner Solo tak mengenal waktu. Mereka hadir sepanjang waktu Anda membutuhkan, tak peduli jarum jam menunjukkan pukul berapa pun.

Jelang malam, Anda bisa menikmati pergantian hari di Rumah Banjarsari. Nama terakhir ini sebenarnya bukan spesifik tempat kuliner. Pasalnya, Rumah Banjarsari merupakan ruang publik bagi para seniman di Kota Solo dan sekitarnya.

Namun, di sore hari sampai malam, pekarangan Rumah Banjarsari berubah menjadi tempat kongkow yang cukup menarik dengan berbagai jajanan ringan. Tak ada makanan spesifik yang khas di sana, seperti Tengkleng Bu Edi misalnya.

Para penjaja yang berjumlah lima gerai (pengurus menyebutnya kantin), menyajikan beragam makanan. Mulai dari cemilan ringan hingga berat. Pun dengan aneka minuman, mulai dari wedang jeruk-jahe, es tape, susu, hingga kopi.

“Di sini yang paling murah Rp500 dan paling mahal Rp20.000. Kami buka sampai jam 23.00,” ucap Zen, pengurus tempat kuliner yang beralamat di Jl Syamsurizal, Setabelan-Banjarsari, Surakarta, Selasa (7/8/2019) sore.

Namun, saya sarankan, jangan memakan makanan yang terlalu berat di Rumah Banjarsari. Nikmatilah makanan-makanan kecil sembari menyeruput kopi di sana–atau susu. Karena, perjalanan kuliner di Kota Solo baru saja dimulai.

Jelang malam, saat perut mulai berbunyi minta diisi, beranjaklah dari Rumah Banjarsari menuju ke arah barat Solo. Tepatnya, ke Wedangan Gareng, yang terletak di Jl Belimbing, Kerten, Surakarta.

Sajian di Wedangan Gareng pada Senin (29/7/2019).

Sajian di Wedangan Gareng pada Senin (29/7/2019). Andya Dhyaksa 

Namanya memang Wedangan Gareng, yang bila dibahasa Indonesia-kan menjadi Minuman Gareng. Akan tetapi, Wedangan Gareng menyediakan makanan nasi ala angkringan, alias nasi kucing.

Bagi kebanyakan dari Anda, mungkin akan berpikir Wedangan Gareng sama saja seperti angkringan biasa. Tunggu dulu, jangan dulu berpikir demikian. Karena yang khas di sana adalah lauknya: melimpah.

Mulai dari gorengan macam tempe, tahu, atau bakwan, hingga kikil rebus dan sate. “Di sini harganya dari Rp2.000 sampai yang paling mahal Rp10.000,” kata Gareng, sembari membuat teh.

Harga yang paling mahal itu adalah lauk kikil dan sate sapi. Khusus yang disebut pertama, seperti menjadi primadona bagi para pengunjung. Saban datang, kerap mereka memesan lauk itu, yang rasanya gurih nan lembut.

Konsep Wedangan Gareng memang angkringan. Namun, jangan ditanya siapa saja mereka yang datang. Mulai dari motor Honda Kharisma keluaran tahun 2000-an hingga Pajero Sport terbaru. Mulai dari mahasiswa, dosen, aktivis, hingga pebisnis.

“Tutupnya jam 1 (dini hari). Biasanya dagangan saya habis,” ucap Gareng.

Konsep warung angkringan memang menjamur di Kota Solo. Menurut catatan Komunitas Rumah Blogger Indonesia (RBI), pada 2014 saja ada 1.132 angkringan, meningkat drastis dari tahun sebelumnya, 728.

Silakan Anda menghabiskan waktu di Wedangan Gareng. Bercakap-cakap sembari ditemani teh nasgitel (panas, legi (manis), dan kental) atau kopi, bisa menjadi peneman karib untuk menjelajahi Solo di malam hari.

Bila makanan di perut sudah mulai turun, Anda bisa menjejakkan kaki menuju Pasar Legi. Di sana, ada satu warung kaki lima yang cukup populer. Namanya, Soto Seger Mbak Ronggeng, yang baru buka pukul 23.00.

Kesegaran dan gurihnya soto daging sapi itu bisa menghangatkan perjalanan malam. Porsinya tak terlalu banyak, cukup untuk menjadi pengganjal sebelum Anda bertualang kuliner lainnya. Seporsi soto, tak lebih dari Rp10.000.

Atau, bila tak ingin memakan soto Mbak Ronggeng, Anda bisa menuju warung pinggir jalan legendaris lainnya, yang merupakan khas Kota Solo. Yaitu, Gudeg Ceker Bu Kasno di Margoyudan.

Bisa dibilang, Gudeg Ceker Bu Kasno merupakan peletak dasar jajanan malam Kota Solo. Berdiri sejak 1970-an di sebelah barat Gereja Mergoyudan, Gudeg Bu Kasno selalu ramai pembeli, bahkan saat baru buka pada pukul 01.00.

“Awalnya, untuk yang ikut SDSB kenapa bukanya malam,” ucap Bu Kasno menjelaskan alasan warungnya buka malam. SDSB adalah Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, sebuah konsep lotre pada masa Orde Baru.

Rasa Gudeg Ceker Bu Kasno, tak begitu berbeda dari gudeg-gudeg di Yogyakarta. Hanya saja Bu Kasno tak membuatnya semanis gudeg kota tetangga itu. Selain itu, ia menyediakan sambal yang sangat pedas.

“Tutup jam 07.00. Setiap hari, 40 ekor ayam habis, kalau liburan, bisa 50 ayam. Kalau telor, nggak terhitung,” ucap Bu Kasno.

Rantai wisata kuliner di Kota Solo tak pernah berhenti sepanjang waktu. Satu tutup, yang lainnya buka–dengan jumlah yang tak sedikit. Begitu terus roda kuliner di sana berjalan.

Meski mungkin jumlah kecil, industri kecil menengah kuliner ini punya andil dalam meningkatkan wisatawan yang datang ke Kota Solo. Maka, tak salah jika mengatakan bahwa waktu 24 jam dalam sehari masih kurang untuk menjelajahi wisata di sana.

“Selama 24 jam, di Solo selalu ada kuliner. Kuliner Solo nggak hanya terpaku pada yang ikonik. Banyak warung-warung kecil tapi ramai karena enaknya,” ucap aktivis Solo, Blontank Poer (sumber beritagar)

[irp]