VNEWS.ID| Ahli yang dihadirkan tim hukum Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Dr Heru Widodo, bicara soal sejarah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tak pernah mendiskualifikasi calon dalam Pemilu. Contoh putusan yang diceritakan oleh Heru berdasar pada putusan MK dalam gugatan Pilkada serentak 2015 hingga 2018.
Heru awalnya bicara soal perubahan undang-undang Pemilu yang memuat penyelesaian pelanggaran maupun sengketa Pemilu. Dia menyebut pelanggaran kualitatif baik yang terukur maupun terstrukur, sistematis dan masif (TSM) diajukan saat tahapan proses Pemilu dan diajukan ke Bawaslu.
“Kaitannya dengan selisih hasil Pilpres yang sedang disidangkan bahwa terhadap pelanggaran-pelanggaran kualitatif baik itu pelanggaran terukur maupun TSM ditegaskan penegakan hukumnya pada tahapan proses. Pelanggaran terukur yang menyangkut syarat pencalonan diajukan ke Bawaslu dan disengketakan melalui peradilan tata usaha negara, pelanggaran TSM diproses pengaduannya dan diputuskan Bawaslu, apabila peserta dikenai sanksi diskualifikasi karena terbukti melakukan pelanggaran TSM dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung,” kata Heru di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).
[irp]
Dia kemudian menyebut belum ada praktik putusan MK terhadap sengketa hasil Pilpres usai UU Pemilu yang baru diberlakukan. Oleh sebab itu, Heru mengambil contoh dari putusan MK terhadap sengketa hasil Pilkada serentak 2015 hingga 2018.
“Putusan Mahkamah dalam mengadili pemilukada serentak sejak 2015, dapat dijadikan sumber rujukan untuk menganalisis atau untuk mencari tahu sikap Mahkamah tentang diskualifikasi calon yang diajukan dalam perselisihan hasil pemilihan,” jelasnya.
Rujukan pertama adalah Putusan Pilgub Provinsi Maluku Utara 2018. Dia menyebut dalam gugatan Pilgub Malut 2018 terdapat permintaan diskualifikasi yang baru muncul pada tahapan PSU (Pemungutan suara ulang).
“Gubernur petahana dilaporkan melanggar pasal 71 UU Pemilukada serentak. Bawaslu Provinsi Maluku Utara merekomendasikan untuk didiskualifikasi. Mahkamah berpendapat, pendiskualifikasian adalah wewenang badan penegak hukum lain untuk menyelesaikannya,” ucap Heru.
Contoh lainnya adalah putusan MK dalam sengketa Pilkada Kabupaten Kuantan Singingi, 2015. Ada permohonan diskualifikasi pemenang karena disebut tidak memenuhi syarat dukungan partai politik. MK, kata Heru, menyatakan permasalahan hukum tersebut termasuk dalam kategori sengketa TUN pemilihan yang merupakan wewenang lembaga lain.
Ketiga, Heru mencontohkan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura 2017 yang di dalamnya terdapat permohonan mendiskualifikasi Bupati petanaha atas tindakan mengganti pejabat, sebagaimana rekomendasi Bawaslu. Hasilnya, MK menyatakan rekomendasi tersebut baru dikeluarkan setelah selesai rekapitulasi penetapan hasil, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan dan MK kemudian menolak permohonan diskualifikasi.
“Contoh keempat, soal diskualifikasi yang terdapat putusan Mahkamah dalam Pilbup Kabupaten Kepulauan Yapen 2017, yang justru memulihkan tindakan diskualifikasi yang dilakukan penyelenggara setelah pemilihan selesai. Dalam perkara a quo, ambang batas tidak dipenuhi pemohon, karena pada saat pleno penetapan hasil tingkat kabupaten, perolehan suara pemohon di-nol-kan oleh KPU Kepulauan Yapen, sesuai rekomendasi untuk mendiskualifikasi dari Panwaslu Yapen. KPU RI dan Bawaslu RI meminta KPU Kepulauan Yapen untuk mencabut pendiskualifikasian, namun tidak diindahkan. Sekalipun pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas, Mahkamah menjatuhkan putusan sela dengan amar perintah PSU se-Kabupaten, dengan mengikutsertakan pasangan calon yang didiskualifikasi,” tutur Heru.
[irp]
Dia pun menilai MK konsisten menyikapi paradigma baru tentang diskualifikasi dalam rezim Pemilihan serentak yang menjadi wewenang lembaga lain untuk menyelesaikannya. Putusan-putusan MK itu, menurut Heru, sudah tepat dan relevan untuk dijadikan ukuran dalam mempertimbangkan permohonan diskualifikasi dalam perselisihan hasil Pilpres 2019, meskipun disebutnya hukum Indonesia tidak menjalankan stare decicis atau precedent.
“Argumentasinya, memang bahwa setiap majelis bebas membuat putusan sesuai dengan pertimbangan, keyakinan dan kesepakatan yang majelis capai. Namun demikian, di negara-negara non-precedent didapati kelaziman, sebagaimana dikemukakan Prof Bagir Manan bahwa majelis hakim menjaga konsistensi dengan putusan-putusan terdahulu, demi kepastian hukum dan menjadi petunjuk bagi pihak yang akan mengajukan perkara,” tuturnya.