VNEWS.ID| Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari kritisi isi pidato dan gesture eks calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap Prabowo dalam menghormati putusan MK sangat minim.
“Dia memang menghormati, tapi itu cuma 20 persen dari keseluruhan isi pidato, tiga per empatnya lagi dia kecewa,” kata Qodari dalam Prime Time News Metro TV, Jumat 28 Juni 2019.
Pengamat politik ini juga menyayangkan pernyataan Prabowo yang ingin mencari celah hukum lain. Padahal, putusan MK sudah final dan sifatnya mengikat.
“Dia masih terlihat seperti calon presiden, masih menggunakan retrorika saat maju pemilihan Presiden dengan menyebut kata-kata pejuangan dan keadilan untuk rakyat,” ujar Qodari.
Bahkan menurut Qodari, Prabowo tengah menyiapkan dirinya untuk kembali maju di pemilihan presiden 2024. “Buat saya ini sinyal, dia sedang berusaha menjaga konstituen,” lanjutnya.
Lebih lanjut, perbedaan sikap berbeda ditunjukkan oleh Jokowi. Jokowi bahkan menunjukkan rasa persabatannya dengan Prabowo.
“Jokowi kembali menyebut Prabowo sebagai sahabat. Prabowo kan tidak sama sekali menyinggung kemenangan Jokowi,” pungkas Qodari.
MK menolak seluruh permohonan sengketa Pilpres 2019 dari Prabowo-Sandiaga Uno. Dengan demikian, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sah menjadi presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis, 27 Juni 2019.
Putusan ini diambil secara bulat oleh sembilan hakim MK. Tidak ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam pengambilan putusan.
Dalam pertimbangannya, MK memang mematahkan seluruh dalil yang diajukan pasangan calon nomor urut 02. Prabowo dianggap tidak dapat membuktikan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019.
MK salah satunya menolak dalil tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga terkait adanya 2.984 tempat pemungutan suara (TPS) atau 895.200 suara siluman. Pasalnya, daerah mana saja yang terdapat TPS siluman tidak dapat dibuktikan.
MK juga menilai sistem informasi penghitungan (situng) Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak dapat dijadikan dasar penghitungan rekapitulasi suara. Situng tak dapat memengaruhi hasil rekapitulasi suara nasional secara berjenjang.
[irp]